Belajar Filsafat 8 : Ontologi

Ontologi

1. Pengertian ontologi

Ontologi memiliki pengertian yang berbeda-beda, definisi ontologi
berdasarkan bahasa berasal dari bahasa Yunani, yaitu On (Ontos) merupakan ada
dan logos merupakan ilmu sehingga ontologi merupakan ilmu yang mengenai
yang ada. Ontologi menurut istilah merupakan ilmu yang membahas hakikat
yang ada, yang merupakan ultimate reality, baik berbentuk jasmani/konkret
maupun rohani abstrak (Bakhtiar 2004). Ontologi dalam definisi Aristoteles
merupakan pembahasan mengenai hal ada sebagai hal ada (hal ada sebagai
demikian) mengalami perubahan yang dalam, sehubungan dengan objeknya
(Gie 1997).




Ontologi dalam pandangan The Liang Gie merupakan bagian dari filsafat
dasar yang mengungkapkan makna dari sebuah eksistensi yang pembahasannya
meliputi persoalan-persoalan (Gie 1997):
a. Apakah artinya ada, hal ada?
b. Apakah golongan-golongan dari hal ada?
c. Apakah sifat dasar kenyataan dan hal ada?
d. Apakah cara-cara yang berbeda dalam mana entilas dari kategori-kategori
logis yang berlainan (misalnya objek-objek fisis, pengertian universal,
abstraksi, dan bilangan) dapat dikatakan ada?
Ontologi menurut Suriasumantri (1990) membahas mengenai apa yang
ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan kata lain suatu
pengkajian mengenai teori tentang ada. Telaah ontologis akan menjawab
pertanyaan-pertanyaan:
a. Apakah objek ilmu yang akan ditelaah?
b. Bagaimana wujud yang hakiki dari objek tersebut?
c. Bagaimana hubungan antara objek dan daya tangkap manusia (seperti
berpikir, merasa, dan mengindra) yang dapat menghasilkan pengetahuan?
Ontologi dalam Ensiklopedia Britannica yang diangkat dari konsepsi
Aristoteles merupakan teori atau studi tentang wujud, misalnya karakteristik
dasar dari seluruh realitas. Pembahasan tentang ontologi sebagi dasar ilmu
berusaha untuk menjawab apa yang menurut Aristoteles merupakan The
First Philosophy dan merupakan ilmu mengenai esensi benda (Romdon 1996).
Ontologi memiliki arti sama dengan metafisika yang merupakan studi filosofi
untuk menentukan sifat nyata yang asli (real nature) dari suatu benda untuk
menentukan arti, struktur, dan prinsip benda tersebut (filosofi ini didefinisikan
oleh Aristoteles abad ke-4 SM) (Ensiklopedia Bratannica dalam Wikipedia).


Ontologi dalam filsafat ilmu merupakan studi atau pengkajian mengenai
sifat dasar ilmu yang memiliki arti, struktur, dan prinsip ilmu. Ontologi filsafat
sebagai cabang filsafat adalah ilmu apa, dari jenis dan struktur dari objek,
properti, peristiwa, proses, serta hubungan dalam setiap bidang realitas. Ontologi
sering digunakan oleh para filsuf sebagai sinonim dari istilah yang digunakan
oleh Aristoteles untuk merujuk pada apa yang Aristoteles sendiri sebut ‘filsafat
pertama. Kadang-kadang ontologi digunakan dalam arti yang lebih luas
untuk merujuk pada studi tentang apa yang mungkin ada; metafisika kemudian
digunakan untuk penelitian dari berbagai alternatif yang mungkin ontologi
sebenarnya sejati dari realitas (Ingarden 1964). Istilah ontologi (atau ontologia)
diciptakan pada tahun 1613 secara mandiri oleh dua filsuf, Rudolf Gockel
(Goclenius) di Philosophicumnya Lexicon dan Jacob Lorhard (Lorhardus) di
Theatrumnyaphilosophicum. Kejadian pertama dalam bahasa Inggris sebagaimana
dicatat oleh OED muncul diKamus Bailey dari tahun 1721 yang mendefinisikan
ontologi sebagai penjelasan di dalam Abstrak (Smith 2003).

Ontologi bertujuan memberikan klasifikasi yang definitif dan lengkap
dari entitas di semua bidang. Klasifikasi harus definitif, dalam arti bahwa hal
itu dapat berfungsi sebagai jawaban atas pertanyaan seperti apa kelas entitas
yang diperlukan untuk penjelasan lengkap dan penjelasan dari semua kejadian kejadian di alam semesta? Apa kelas entitas yang diperlukan untuk memberikan
penjelasan mengenai apa yang membuat benar semua kebenaran? Hal ini harus
menjadi lengkap, dalam arti bahwa semua jenis entitas harus dimasukkan ke
dalam klasifikasi, termasuk juga jenis hubungan dengan entitas yang diikat
bersama untuk membentuk keutuhan yang lebih besar.










2. Aspek ontologi

Objek telaah ontologi adalah ada. Studi tentang yang ada pada dataran studi
filsafat pada umumnya dilakukan oleh filsafat metafisika. Istilah ontologi banyak
digunakan ketika kita membahas yang ada dalam konteks filsafat ilmu. Ontologi
membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu.
Ontologi membahas tentang yang ada dan universal, menampilkan pemikiran
semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap
kenyataan atau dalam rumusan Lorens Bagus; menjelaskan yang ada, meliputi
semua realitas dalam semua bentuknya.

Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan
kuantitatif, realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah, telaahnya akan menjadi
kualitatif, realitas akan tampil menjadi aliran-aliran materialisme, idealisme,
naturalisme, atau hylomorphisme.
Aspek ontologi dari ilmu pengetahuan tertentu hendaknya diuraikan secara
metodis (mengunakan cara ilmiah); sistematis (saling berkaitan satu sama lain
secara teratur dalam suatu keselurusan); koheren (unsur-unsurnya harus bertautan,
tidak boleh mengandung uraian yang bertentangan); rasional (harus berdasarkan
pada kaidah berikir yang benar/logis); komprehensif (melihat objek yang tidak
hanya dari satu sisi atau sudut pandang, tetapi juga secara multidimensional atau
secara keseluruhan/holistik); radikal (diuraikan sampai akar persoalannya atau
esensinya); universal (muatan kebenarannya sampai tingkat umum yang berlaku
di mana saja).

3. Fungsi dan manfaat ontologi

Fungsi dan manfaat dalam mempelajari ontologi, yaitu berfungsi sebagai
refleksi kritis atas objek atau bidang garapan, konsep-konsep, asumsi-asumsi, dan
postulat-postulat ilmu. Di antara asumsi dasar keilmuan antara lain pertama,
dunia ini ada, dan kita dapat mengetahui bahwa dunia ini benar ada. Kedua,
dunia empiris dapat diketahui oleh manusia dengan pancaindra. Ketiga, fenomena
yang terdapat di dunia ini berhubungan satu dengan yang lainnya secara kausal
(Ansari 1987: 80 dalam buku Ihsan 2010).
Ontologi menjadi penting karena pertama, kesalahan suatu asumsi akan
melahirkan teori, metodologi keilmuan yang salah pula. Sebagai contoh, ilmu
ekonomi dikembangkan atas dasar postulat bahwa “manusia adalah serigala bagi
manusia lainnya” dan asumsi bahwa hakikat manusia adalah “homo ekonomikus”,
makhlus yang serakah (Sastra ratedja 1988 dalam buku Ihsan 2010). Oleh
karena itu, asumsi ini akan memengaruhi teori dan metode yang didasarkan atas
keserakahan manusia tersebut. Kedua, ontologi membantu ilmu untuk menyusun
suatu pandangan dunia yang integral, komprehensif, dan koheren. Ilmu dengan
ciri khasnya mengkaji hal-hal yang khusus untuk dikaji secara tuntas yang pada
akhirnya diharapkan dapat memperoleh gambaran tentang objek. Namun, pada
kenyataannya kadang hasil temuan ilmiah berhenti pada simpulan-simpulan
yang parsial dan terpisah-pisah.









4. Metode ontologi

Berdasarkan konteks filosofi, metode ontologi ini selalu digunakan di
dalam adequatists sebagai metode filsafat secara umum. Metode ini termasuk
pengembangan teori ruang lingkup yang lebih luas atau sempit dan pengujian
serta penyempurnaan dari teori-teori tersebut dengan memahami metode filsafat
terhadap hasil ilmu pengetahuan. Metode ini digunakan oleh Aristoteles sendiri.
Abad kedua puluhontologists telah tersedia untuk pengujian akhir
pengembangan teori ruang lingkup. Ontologists saat ini memiliki pilihan
kerangka formal (yang berasal dari aljabar, kategoriteori, mereologi, topologi)
dalam bentuk teori yang dapat dirumuskan. Melalui kerangka formal tersebut,
memungkinkan ahli filsafat untuk mengekspresikan prinsip intuitif dan definisi
dengan jelas dan teliti serta melalui penerapan metode ilmu semantik formal,
mereka dapat memungkinkan juga untuk pengujian teori untuk konsistensi dan
kelengkapan.
Pandangan-pandangan pokok di dalam pemahaman sebagai berikut.

a. Monoisme
Paham ini merupakan paham yang menganggap bahwa hakikat yang asal
dari seluruh kenyataan itu hanyalah satu saja, tidak mungkin dua. Haruslah satu
hakikatnya saja sebagai sumber yang asal, baik yang asal berupa materi maupun
berupa rohani. Tidak mungkin ada hakikat masing-masing bebas dan berdiri
sendiri. Haruslah salah satunya merupakan sumber yang pokok dan dominan
menentukan perkembangan yang lainnya. Istilah monoisme oleh Thomas
Davidson disebut dengan Block Universe. Paham ini kemudian terbagi ke dalam
dua aliran (Edwards 1972).
1) Materialisme
Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan
rohani. Aliran ini sering juga disebut dengan naturalisme. Menurutnya, zat mati
merupakan kenyataan dan satu-satunya fakta (Sunarto 1983). Materialisme sering
juga disebut naturalisme, tetapi terdapat sedikit perbedaan di antara dua paham.
Namun, materialisme dapat dianggap suatu penampakan diri dari naturalisme.
Naturalisme berpendapat bahwa alam saja yang ada, yang lainnya di luar alam
tidak ada (Louis 1996).
2) Idealisme
Sebagai lawan materialisme adalah aliran idealisme yang dinamakan dengan
spiritualisme. Idealisme berarti serba cita, sedangkan spiritualisme berarti serba
roh. Idealisme berasal dari kata “Idea” yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran
ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu berasal dari
roh (sukma), yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang. Materi
dan zat itu hanyalah suatu jenis daripada penjelmaan rohani.
Alasan aliran ini yang menyatakan bahwa hakikat benda adalah rohani,
spirit, atau sejenisnya adalah nilai roh lebih tinggi daripada badan, lebih tinggi
nilainya dari materi bagi kehidupan manusia. Roh itu dianggap sebagai hakikat
yang sebenarnya sehingga materi hanya badannya, bayangan, atau penjelmaan
saja. Manusia lebih dapat memahami dirinya daripada dunia luar dirinya. Materi
ialah kumpulan energi yang menempati ruang. Benda tidak ada, yang ada energi
itu saja (Bakhtiar 2010).

b. Dualisme
Setelah kita memahami bahwa hakikat itu satu (monoisme) baik materi
maupun rohani, ada juga pandangan yang mengatakan bahwa halikat itu ada dua.
Aliran ini disebut dualisme. Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri atas dua
macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat rohani,
benda dan roh, jasad dan spirit, materi bukan muncul dari roh, serta roh bukan
muncul dari benda. Sama-sama hakikat dan masing-masing bebas dan berdiri
sendiri, sama-sama azali dan abadi. Hubungan kedua menciptakan kehidupan
dalam aliran ini. Contohnya, tentang adanya kerja sama kedua hakikat ini yaitu
dalam diri manusia.

c. Pluralisme
Paham ini berpandangan bahwa segala macam bentuk merupakan
kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap
macam bentuk ini semuanya nyata. Pluralisme dalam Dictinary of Philosophy and
86 | Pengantar Filsafat Ilmu
Religion dikatakan sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini
tersususn dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua entitas. Tokoh aliran ini
pada masa Yunani Kuno adalah Anaxahoras dan Empedocles yang menyatakan
bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri atas 4 unsur yaitu tanah, air,
api, dan udara (William et al. 1996).
Tokoh modern aliran ini adalah William James (1842−1910 M). Kelahiran
New York dan terkenal sebagai seorang psikolog dan filsuf Amerika. Dalam
bukunya The Meaning of Truth, James mengemukakan tiada kebenaran yang
mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap,yang berdiri sendiri, lepas dari
akal yang mengenal. Hal ini disebabkan oleh pengalaman yang berjalan terus dan
segala yang dianggap benar dalam perkembangan pengamalaman itu senantiasa
berubah karena dalam praktiknya apa yang dianggap benar dapat dikoreksi oleh
pengalaman berikutnya.
d. Nihilisme
Nihilisme berasal dari bahasa Latin yang berarti nothing atau tidak ada.
Sebuah doktrin yang tidak mengakui validitas alternatif yang positif. Istilah
nihilisme diperkenalkan oleh Ivan Turgeniev dalam novelnya Fathers and Children
yang ditulisnya pada tahun 1862 di Rusia. Dalam novel itu, Bazarov sebagai
tokoh sentral mengatakan lemahnya kutukan ketika ia menerima ide nihilisme.
Doktrin mengenai nihilisme sebenarnya sudah ada sejak zaman Yunani
Kuno, yaitu pada pandangan Gorgias (360−483 SM) yang memberikan tiga
proposisi tentang realitas. Pertama, tidak ada sesuatu pun yang eksis. Pertama,
tidak ada sesuatu pun yang eksis. Realitas itu sebenarnya tidak ada. Kedua, bila
sesuatu itu ada, ia tidak dapat diketahui. Hal ini disebabkan oleh pengindraan itu
tidak dapat dipercaya, pengindraan itu sumber ilusi. Ketiga, sekalipun realitas itu
dapat kita ketahui, ia tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang lain.
Tokoh lain aliran ini adalah Friedrich Nietzsche (1844−1900 M). Dilahirkan
di Rocken di Prusia dari keluarga pendeta. Nietzsche mengakui bahwa pada
kenyataannya moral di Eropa sebagian besar masih bersandar pada nilai-nilai
kristiani. Namun, tidak dapat dihindarkan bahwa nilai-nilai itu akan lenyap.
Dengan sendirinya, manusia modern terancam nihilisme. Dengan demikian, ia
sendiri harus mengatasi bahaya itu dengan menciptakan nilai-nilai baru, dengan
transvaluasi semua nilai.

e. Agnotisisme
Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat
benda, baik hakikat materi maupun hakikat rohani. Kata Agnosticisme berasal
dari bahasa Grik Agnostos yang berarti unknown. A artinya not, artinya know.
Timbulnya aliran ini disebabkan belum diperoleh seseorang yang mampu
menerangkan secara konkret akan adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan
dapat dikenal.
Aliran ini dengan tegas selalu menyangkal adanya suatu kenyataan mutlak
yang bersifat trancendent. Aliran ini dapat kita temui dalam filsafat eksistensi
dengan tokoh-tokohnya seperti Soren Kierkegaar (1813−1855 M) yang terkenal
dengan julukan sebagai Bapak Filsafat Eksistensialisme menyatakan manusia tidak
pernah hidup sebagai suatu aku umum, tetapi sebagai aku individual yang sama
sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu lain. Martin Heidegger
(1889−1976 M) seseorang filsuf Jerman mengatakan, satu-satunya yang ada itu
ialah manusia karena hanya manusialah yang dapat memahami dirinya sendiri.
Jean Paul Sartre (1905−1980 M), seorang filsuf dan sastrawan Perancis yang
ateis sangat terpengaruh dengan pikiran ateisnya mengatakan bahwa manusia
selalu menyangkal. Hakikat beradanya manusia bukan etre (ada), melainkan a
etre (akan atau sedang). Segala perbuatan manusia tanpa tujuan karena tidak ada
yang tetap (selalu disangkal). Segala sesuatu mengalami kegagalan. Das sein (ada/
berada) dalam cakrawala gagal.

Ternyata segala macam nilai hanya terbatas saja. Manusia tidak boleh
mencari dan mengusahakan kegagalan dan keruntuhan sebab hal ini bukanlah
hal yang asli. Kegagalan dan keruntuhan itu mewujudkan tulisan sandi (chiffre)
sempurna dari ada. Di dalam kegagalan dan keruntuhan itu orang mengalami
ada. mengalami yang transenden. Karl Jaspers (1883-1969 M) menyangkal
adanya suatu kenyataan yang transenden. Mungkin itu hanyalah manusia
berusaha mengatasi dirinya sendiri dengan membawakan dirinya yang belum
sadar pada kesadaran yang sejati, namun suatu yang mutlak (transcendent) itu
tidak ada sama sekali.

Jadi, agnostisisme adalah paham pengingkaran atau penyangkalan terhadap
kemampuan manusia mengetahui hakikat benda, baik materi maupun rohani.
Aliran ini mirip dengan skeptisisme yang berpendapat bahwa manusia diragukan
kemampuannya mengetahui hakikat. Namun, tampaknya agnotisisme lebih dari
itu karena menyerah sama sekali


Penjelasan tentang ontologi
Pengertian ontologi
Sejarah ontologi
Dasar ontologi
Hakikat ontologi
Makalah ontologi
Kasus ontologi dalam kehidupan
0 Comments for "Belajar Filsafat 8 : Ontologi "

Back To Top