Zaman Yunani Kuno
Ciri-ciri zaman ini ditandai oleh:
1. setiap orang memiliki kebebasan mengungkapkan ide,
2. masyarakat tidak lagi mempercayai mitos-mitos, dan
3. masyarakat tidak menerima pengalaman yang didasarkan pada sikap
menerima begitu saja, tetapi pada sikap yang menyelidiki secara kritis.
Zaman ini banyak melahirkan filsuf yang abadi seperti Thales pada abad
ke-6 SM dengan pandangannya air sebagai asas pertama segala sesuatu. Ia
digelar sebagai filsuf pertama oleh Aristoteles. Filsuf Anaximandaros (610-540
SM) dengan konsepnya arkhe, yakni asal segala sesuatu adalah yang tak terbatas
(to apeiron) yang bersifat abadi. Selanjutnya, Anaximenes (ia lebih muda dari
Anaximandaros) berpandangan bahwa asas pertama segala sesuatu dari udara
karena udara melingkupi segala yang ada. Banyak filsuf yang muncul pada masa
ini, namun ketiga filsuf ini penting dicatat sebagai pembuka tabir ilmu yang
mendasarkan pandangannya tidak pada mitos, tetapi pada logos (Mustansyir dan
munir 2001: 20).
Sebagai rasa hormat kita kepada mereka sebagai pemikir pada masa itu,
yang memperkaya khazanah perkembangan ilmu sekarang. Berikut ini diurutkan
antara Corax, Tissias, Empedocles, Pythagoras, Gorgias, Protagoras, Lycias,
Phidias, Isocrates, Democrates, Tulius Cicero, Milton Massilon, Jeremy Tailor,
Edmund Burke, Demostenes, Aeschemenes, Prodicus, Quantilianus, Plato,
Agustinus, Tacitus, Socrates, Aristoteles, Antonius, Crassus, Rufus, Hortensius,
dan Cicero.
Periode filsafat Yunani merupakan periode sangat penting dalam sejarah
peradaban manusia karena saat ini terjadi perubahan pola pikir manusia dari
mitosentris menjadi logosentris. Pola pikir mitosentris adalah pola pikir
masyarakat yang sangat mengandalkan mitos untuk menjelaskan fenomena
alam, seperti gempa bumi dan pelangi. Gempa bumi tidak dianggap fenomena
alam biasa, tetapi Dewa Bumi yang sedang menggoyangkan kepalanya. Namun,
ketika filsafat diperkenalkan, fenomena alam tersebut tidak lagi dianggap sebagai
aktivitas dewa, tetapi aktivitas alam yang terjadi secara kausalitas. Perubahan pola
pikir tersebut kelihatannya sederhana, tetapi implikasinya tidak sederhana karena
selama ini alam ditakuti dan dijauhi, kemudian didekati bahkan dieksploitasi.
Manusia yang dulunya pasif dalam menghadapi fenomena alam menjadi lebih
proaktif dan kreatif sehingga alam dijadikan objek penelitian dan pengkajian.
Dari proses inilah kemudian ilmu berkembang dari rahim filsafat yang akhirnya
kita nikmati dalam bentuk teknologi. Oleh karena itu, periode perkembangan
filsafat Yunani merupakan entry point untuk memasuki peradaban baru umat
manusia.
Untuk menelusuri filsafat Yunani, perlu dijelaskan terlebih dahulu asal
kata filsafat. Sekitar abad IX SM atau paling tidak tahun 700 SM, di Yunani,
Sophia diberi arti kebijaksanaan; Sophia juga berarti kecakapan. Kata Philosophos
mula-mula dikemukakan dan dipergunakan oleh Heraklitos (540-480 SM).
Sementara orang ada yang mengatakan bahwa kata tersebut mula-mula dipakai
oleh Phytagoras (580-500 SM). Namun, pendapat yang lebih tepat adalah
pendapat yang mengatakan bahwa Heraklitos yang pertama menggunakan istilah
tersebut. Menurutnya, Philosophos (ahli filsafat) harus mempunyai pengetahuan
luas sebagai pengejawantahan daripada kecintaannya akan kebenaran dan mulai
benar-benar jelas digunakan pada masa kaum Sofis dan Socrates yang memberi
arti philosophein sebagai penguasaan secara sistematis terhadap pengetahuan
teoretis. Philosophia adalah hasil dari perbuatan yang disebut Philosophein
itu, sedangkan philosophos adalah orang yang melakukan philosophein. Dari
kata philosophia itu nantinya timbul kata-kata philosophie (Belanda, Jerman,
Perancis), philosophy (Inggris). Dalam bahasa Indonesia disebut filsafat atau
falsafat (Soejabrata 1970: 1−2; Anshari 1991: 80).
Mencintai kebenaran/pengetahuan adalah awal proses manusia mau
menggunakan daya pikirnya sehingga dia mampu membedakan mana yang riil
dan mana yang ilusi. Orang Yunani awalnya sangat percaya pada dongeng dan
takhayul, tetapi lama-kelamaan, terutama setelah mereka mampu membedakan
yang riil dengan ilusi, mereka mampu keluar dari kungkungan mitologi dan
mendapatkan dasar pengetahuan ilmiah. Inilah titik awal manusia menggunakan
rasio untuk meneliti dan sekaligus mempertanyakan dirinya dan alam jagad
raya.
Karena manusia selalu berhadapan dengan alam yang begitu luas dan penuh
misteri, timbul rasa ingin mengetahui rahasia alam itu. Lalu timbul pertanyaan
dalam pikirannya, dari mana datangnya alam ini, bagaimana kejadiannya, serta
kemajuannya dan kemana tujuannya? Pertanyaan semacam inilah yang selalu
menjadi pertanyaan di kalangan filsuf Yunani sehingga tidak heran kemudian
mereka juga disebut dengan filsuf alam karena perhatian yang begitu besar pada
alam. Para filsuf alam ini juga disebut filsuf pra Sokrates, sedangkan Sokrates dan
setelahnya disebut para filsuf pasca-Sokrates yang tidak hanya mengkaji tentang
alam, tetapi manusia dan perilakunya.
Filsuf alam pertama yang mengkaji tentang asal-usul alam adalah Thales
(624−546 SM). Thales diberi gelar Bapak Filsafat karena dia orang yang mula mula berfilsafat dan mempertanyakan “apa sebenarnya asal-usul alam semesta
ini?â€. Pertanyaan ini dijawab dengan pendekatan rasional, bukan pendekatan
mitos dan kepercayaan. Thales mengatakan asal alam adalah air karena air unsur
penting bagi setiap makhluk hidup, air dapat berubah menjadi benda gas, seperti
uap dan benda padat, seperti es dan bumi ini juga berada di atas air (Tafsir
1992).
Setelah Thales, muncul Anaximandros (610−540 SM) yang menjelaskan
bahwa substansi pertama bersifat kekal, tidak terbatas, dan meliputi segalanya.
Tidak setuju dengan pendapat bahwa unsur utama alam adalah air atau tanah.
Unsur utama alam adalah harus yang mencakup segalanya dan di atas segalanya
yang dinamakan apeiron. Hal tersebut adalah air maka air harus meliputi
segalanya termasuk api yang merupakan lawannya. Padahal tidak mungkin air
menyingkirkan anasir api. Oleh karena itu, Anaximandros tidak puas dengan
menunjukkan salah satu anasir sebagai prinsip alam. Namun, dia mencari yang
lebih dalam, yaitu zat yang tidak dapat diamati pancaindra.
Heraklitos (540−480 SM) melihat alam semesta ini selalu dalam keadaan
berubah, sesuatu yang dingin berubah jadi panas dan sebaliknya yang panas
berubah jadi dingin. Ini berarti bahwa jika kita hendak memahami kehidupan
kosmos, kita harus memahami bahwa kosmos itu dinamis. Segala sesuatu saling
bertentangan dan dalam pertentangan itulah kebenaran. Gitar tidak akan
menghasilkan bunyi kalau dawai tidak ditegangkan antara dua ujungnya. Oleh
karena itu, dia berkesimpulan, tidak ada satupun yang benar-benar ada, semuanya
menjadi. Ungkapan yang terkenal dari Heraklitos dalam menggambarkan
perubahan ini adalah panta rhei uden menei (semua mengalir dan tidak ada
satupun yang tinggal mantap).
Itulah sebabnya ia mempunyai kesimpulan bahwa yang mendasar dalam
alam semesta ini adalah bukan bahannya, melainkan aktor dan penyebabnya yaitu
api. Api adalah unsur yang paling asasi dalam alam karena api dapat mengeraskan
adonan roti dan di sisi lain dapat melunakkan es. Artinya, api adalah aktor
pengubah dalam alam ini sehingga api pantas dianggap sebagai simbol perubahan
itu sendiri (Tafsir 1992).
Filsuf alam yang cukup berpengaruh adalah Parmenides (515−440 SM)
yang lebih muda umurnya daripada Heraklitos. Pandangannya bertolak belakang
dengan Heraklitos. Menurut Heraklitos, realitas seluruhnya bukanlah sesuatu
yang lain daripada gerak dan perubahan, sedangkan menurut Parmenides,
gerak dan perubahan tidak mungkin terjadi. Menurutnya, realitas merupakan
keseluruhan yang bersatu, tidak bergerak dan tidak berubah. Dia menegaskan
bahwa yang ada itu ada. Inilah kebenaran. Coba bayangkan apa konsekuensi bila
ada orang yang memungkiri kebenaran itu. Ada dua pengandaian yang mungkin.
Pertama, orang yang bisa mengemukakan bahwa yang ada itu tidak ada. Kedua,
orang yang dapat mengemukakan bahwa yang ada itu serentak ada dan serentak
tidak ada. Pengandaian pertama tertolak dengan sendirinya karena yang tidak
ada memang tidak ada, sedangkan yang tidak ada tidak dapat dipikirkan dan
menjadi objek pembicaraan. Pengandaian kedua tidak dapat diterima karena
antara ada dan tidak ada tidak terdapat jalan tengah, yang ada akan tetap ada
dan tidak mungkin menjadi tidak ada, begitu juga yang tidak ada tidak mungkin
berubah menjadi ada. Jadi, harus disimpulkan bahwa yang ada itu ada dan itulah
satu-satunya kebenaran (Bertens, Sejarah: 47).
Benar-tidaknya suatu pendapat diukur dengan logika. Bentuk ekstrem
pernyataan itu adalah bahwa ukuran kebenaran adalah akal manusia. Dari
pandangan ini dia mengatakan bahwa alam tidak bergerak, tetapi diam karena
alam itu satu. Dia menentang pendapat Heraklitos yang mengatakan alam selalu
bergerak. Gerak alam yang terlihat menurut Permenides adalah semu, sejatinya
alam itu diam. Akibat dari pandangan ini kemudian muncul prinsip penteism
e dalam memandang realitas.
Phytagoras (580-500 SM) mengembalikan segala sesuatu pada bilangan.
Baginya, tidak ada satupun di alam ini yang terlepas dari bilangan. Semua realitas
dapat diukur dengan bilangan (kuantitas). Oleh karena itu, dia berpendapat
bahwa bilangan adalah unsur utama dari alam dan sekaligus menjadi ukuran.
Kesimpulan ini ditarik dari kenyataan bahwa realitas alam adalah harmoni antara
bilangan dan gabungan antara dua hal yang berlawanan, seperti nada musik dapat
dinikmati karena oktaf adalah hasil dari gabungan bilangan 1 (bilangan ganjil)
dan 2 (bilangan genap).
Apabila segala-galanya adalah bilangan, itu berarti bahwa unsur bilangan
merupakan unsur yang terdapat dalam segala sesuatu. Unsur-unsur bilangan itu
adalah genap dan ganjil, terbatas dan tidak terbatas. Demikian juga seluruh jagad
raya merupakan suatu harmoni yang mendamaikan hal-hal yang berlawanan.
Artinya, segala sesuatu berdasarkan dan dapat dikembalikan pada bilangan.
Jasa Phytagoras ini sangat besar dalam pengembangan ilmu, terutama
ilmu pasti dan ilmu alam. Ilmu yang dikembangkan kemudian hari sampai
hari ini sangat bergantung pada pendekatan matematika. Galileo menugaskan
bahwa alam ditulis dalam bahasa matematika. Dalam filsafat ilmu, matematika
merupakan sarana ilmiah yang terpenting dan akurat karena dengan pendekatan
matematika lah ilmu dapat diukur dengan benar dan akurat. Di samping itu,
matematika dapat menyederhanakan uraian yang panjang dalam bentuk simbol
sehingga lebih cepat dipahami.
Setelah berakhirnya masa para filsuf alam maka muncul masa transisi,
yakni penelitian terhadap alam tidak menjadi fokus utama, tetapi sudah mulai
menjurus pada penyelidikan pada manusia. Filsuf alam ternyata tidak dapat
memberikan jawaban yang memuaskan sehingga muncul kaum Sofis. Kaum
Sofis ini memulai kajian tentang manusia dan menyatakan bahwa manusia
adalah ukuran kebenaran. Tokoh utamanya adalah Protagoras (481-411
SM), menyatakan bahwa manusia adalah ukuran kebenaran. Pernyataan ini
merupakan cikal bakal humanisme. Pertanyaan yang muncul adalah apakah yang
dimaksud dengan manusia individu atau manusia pada umumnya? Memang
dua hal ini menimbulkan konsekuensi yang sangat berbeda. Namun, tidak ada
jawaban yang pasti, mana yang dimaksud oleh Protagoras. Selain itu, Protagoras
menyatakan bahwa kebenaran itu bersifat subjektif dan relatif. Akibatnya, tidak
akan ada ukuran yang absolut dalam etika, metafisika, ataupun agama. Bahkan
teori matematika tidak dianggapnya mempunyai kebenaran yang absolut.
Tag lainnya
Sejarah Filsafat Yunani kuno
Sejarah peradaban Yunani kuno
Makalah sejarah Yunani kuno
Kehidupan dan sosial Yunani kuno
Pemikiran jaman Yunani kuno
Sistem pemerintahan Yunani kuno
0 Comments for "Belajar Filsafat 5 : Masa Yunani Kuno"